Maraknya kicau-kicau tentang Calon Presiden di sosial media dan realita saat ini, membuat saya bertanya-tanya, seberapa paham sebenarnya masyarakat akan proses kecil pemilu yang merupakan bagian dari proses panjang pembentukan Negara Indonesia. Cukup banyak kampanye-kampanye negatif yang diarahkan kepada kedua calon. Saya sendiri, dengan terang-terangan menyatakan dukungan kepada Prabowo-Hatta. Tapi tak lantas menjelek-jelekkan Jokowi-JK.
Ada beberapa alasan kenapa saya memilih Prabowo untuk memimpin Indonesia selama minimal 5 tahun ke depan. Berikut satu alasan utamanya.
Dalam pengambilan keputusan apapun, saya lebih senang membayangkan kemungkinan dan resiko terburuk yang akan terjadi. Begitu juga dalam pemilihan Presiden kali ini. Siapapun yang terpilih, kemungkinan terbaiknya adalah Indonesia menjadi makmur dan lebih baik dari saat ini. Tapi saat kita berbicara tentang kemungkinan terburuk seperti salah pilih pemimpin, dapat dilihat perbedaan signifikan dampak kesalahan masyarakat ini.
Jokowi, terlalu dicintai oleh masyarakat. Fenomena fanatisme pendukung Jokowi ini mengingatkan saya pada masa pemerintahan awal Soekarno. Begitu besar rasa cinta rakyat terhadap Presiden pertama Indonesia ini hingga kini Soekarno masih dikagumi banyak orang. Namun yang kita lupakan adalah bagaimana Soekarno membawa Indonesia merdeka di bawah asuhan Jepang, dan bukannya merdeka 100% sebagaimana yang diinginkan pejuang revolusi pada masa tersebut. Masyarakat seperti dibutakan oleh fanatisme hingga membenarkan setiap tindakan Soekarno. Hingga kini Soekarno masih dipuja, seolah 21 tahun menjabat sebagai Presiden tanpa kemajuan yang diharapkan, adalah hal biasa.
Membayangkan fanatisme seperti ini terjadi lagi adalah hal yang sangat menakutkan. Kita tidak lagi menjadi objektif, karena yang dicintai bukan lagi pemikiran melainkan kepribadian sang pemimpin. Sayang, selayaknya orang sedang jatuh cinta, para pendukung Jokowi tentu tidak akan mengindahkan pandangan-pandangan yang seolah menyudutkan pujaan hatinya.
Lalu bagaimana dengan Prabowo? Apakah kita akan memilih orang yang merupakan dalang atas penculikan para aktivis 97-98? Apakah kita rela dipimpin oleh seseorang yang tampaknya akan bersikap otoriter jika diberikan kesempatan memimpin?
Agar menjaga konsistensi dan tidak melebarnya tulisan ini, saya tidak akan membahas kasus penculikan yang melibatkan nama Prabowo. Saya hanya akan memaparkan kemungkinan terburuk jika ternyata, saya, dan sekian banyak orang lainnya salah memilih Prabowo menjadi Presiden Republik Indonesia.
Kemungkinan terburuk dari pemerintahan yang makin korup dan kacau jika dipimpin Prabowo adalah bangkitnya semangat revolusi kaum proletariat yang seharusnya muncul dan diselesaikan pada masa reformasi 98. Semakin banyak masyarakat yang meragukan kemampuan Prabowo memimpin, maka kita akan menjadi semakin kritis. Setiap kebijakan, setiap pergerakan pemerintah, akan diawasi langsung oleh rakyat. Kemudian saat pemerintahan tidak lagi bisa diharapkan dan semakin parah, maka revolusi akan kembali terjadi. Sesuai teori Karl Marx yang juga dianut oleh Tan Malaka, tekanan-tekanan terhadap kaum kelas bawah akan membangkitkan semangat revolusi yang akhirnya menyingkirkan kaum-kaum borjuis dan kapitalis. Saat revolusi terjadilah, masyarakat akan mengusung wakil rakyat yang juga berasal dari kaum kelas bawah (dikenal dengan istilah diktator proletariat) yang nantinya akan menyusun ulang negara sebelum diserahkan kepada pemerintah yang baru dan bersih dari kaum borjuis.
Dalam bahasa yang paling sederhana saya rangkum. Kemungkinan terburuk jika Jokowi ternyata bukanlah pemimpin yang baik, seperti orang jatuh cinta pada umumnya, maka rakyat akan mencari pembenaran atas kesalahan-kesalahannya dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk akhirnya tersadar bahwa kita telah salah memilih. Lain halnya jika Prabowo terpilih menjadi Presiden dan ternyata tidak becus menjalankan semua janjinya, tak akan sulit mentransformasi kekuatan rakyat sebagai senjata untuk menjatuhkannya.
Ketika pembaca mulai bertanya-tanya seberapa kuat landasan opini yang baru saya paparkan di atas, jawabannya sangat sederhana. Lihatlah ke sekeliling kita, lihat orang-orang terdekat kita yang sebelumnya sama sekali tidak peduli terhadap politik. Para pendukung Jokowi, adalah contoh paling konkrit. Orang-orang yang sama sekali tidak paham politik hingga para pemuda dari kaum intelek, yang 5 tahun lalu tak berkomentar soal pemilu, kini berkoar-koar begitu lantang menyuarakan dukungan bagi Jokowi karena begitu tak ingin Prabowo menjadi Presiden.
Apa yang dilakukan orang-orang ini? Mereka mencari tahu, mereka membaca sejarah dan riwayat. Saya yakin, banyak dari orang-orang yang dulu tak pernah dan tak mau tahu kasus penculikan aktivis, kini mulai mengenal siapa Widji Tukul. Ini, adalah sebuah bukti, sebuah pembenaran. Bahwa diakui atau tidak, keberadaan Prabowo di bangku (calon) penguasa, telah menggerakkan tangan masyarakat secara perlahan untuk ikut menyetir negara. Dan ini, adalah awal mula penerapan Demokrasi yang nyata.
[Jakarta, 5 Juni 2014]