Arsip Kategori: opini

Kenapa Prabowo, Bukan Jokowi

Maraknya kicau-kicau tentang Calon Presiden di sosial media dan realita saat ini, membuat saya bertanya-tanya, seberapa paham sebenarnya masyarakat akan proses kecil pemilu yang merupakan bagian dari proses panjang pembentukan Negara Indonesia. Cukup banyak kampanye-kampanye negatif yang diarahkan kepada kedua calon. Saya sendiri, dengan terang-terangan menyatakan dukungan kepada Prabowo-Hatta. Tapi tak lantas menjelek-jelekkan Jokowi-JK.

Ada beberapa alasan kenapa saya memilih Prabowo untuk memimpin Indonesia selama minimal 5 tahun ke depan. Berikut satu alasan utamanya.

Dalam pengambilan keputusan apapun, saya lebih senang membayangkan kemungkinan dan resiko terburuk yang akan terjadi. Begitu juga dalam pemilihan Presiden kali ini. Siapapun yang terpilih, kemungkinan terbaiknya adalah Indonesia menjadi makmur dan lebih baik dari saat ini. Tapi saat kita berbicara tentang kemungkinan terburuk seperti salah pilih pemimpin, dapat dilihat perbedaan signifikan dampak kesalahan masyarakat ini.

Jokowi, terlalu dicintai oleh masyarakat. Fenomena fanatisme pendukung Jokowi ini mengingatkan saya pada masa pemerintahan awal Soekarno. Begitu besar rasa cinta rakyat terhadap Presiden pertama Indonesia ini hingga kini Soekarno masih dikagumi banyak orang. Namun yang kita lupakan adalah bagaimana Soekarno membawa Indonesia merdeka di bawah asuhan Jepang, dan bukannya merdeka 100% sebagaimana yang diinginkan pejuang revolusi pada masa tersebut. Masyarakat seperti dibutakan oleh fanatisme hingga membenarkan setiap tindakan Soekarno. Hingga kini Soekarno masih dipuja, seolah 21 tahun menjabat sebagai Presiden tanpa kemajuan yang diharapkan, adalah hal biasa.

Membayangkan fanatisme seperti ini terjadi lagi adalah hal yang sangat menakutkan. Kita tidak lagi menjadi objektif, karena yang dicintai bukan lagi pemikiran melainkan kepribadian sang pemimpin. Sayang, selayaknya orang sedang jatuh cinta, para pendukung Jokowi tentu tidak akan mengindahkan pandangan-pandangan yang seolah menyudutkan pujaan hatinya.

Lalu bagaimana dengan Prabowo? Apakah kita akan memilih orang yang merupakan dalang atas penculikan para aktivis 97-98? Apakah kita rela dipimpin oleh seseorang yang tampaknya akan bersikap otoriter jika diberikan kesempatan memimpin?

Agar menjaga konsistensi dan tidak melebarnya tulisan ini, saya tidak akan membahas kasus penculikan yang melibatkan nama Prabowo. Saya hanya akan memaparkan kemungkinan terburuk jika ternyata, saya, dan sekian banyak orang lainnya salah memilih Prabowo menjadi Presiden Republik Indonesia.

Kemungkinan terburuk dari pemerintahan yang makin korup dan kacau jika dipimpin Prabowo adalah bangkitnya semangat revolusi kaum proletariat yang seharusnya muncul dan diselesaikan pada masa reformasi 98. Semakin banyak masyarakat yang meragukan kemampuan Prabowo memimpin, maka kita akan menjadi semakin kritis. Setiap kebijakan, setiap pergerakan pemerintah, akan diawasi langsung oleh rakyat. Kemudian saat pemerintahan tidak lagi bisa diharapkan dan semakin parah, maka revolusi akan kembali terjadi. Sesuai teori Karl Marx yang juga dianut oleh Tan Malaka, tekanan-tekanan terhadap kaum kelas bawah akan membangkitkan semangat revolusi yang akhirnya menyingkirkan kaum-kaum borjuis dan kapitalis. Saat revolusi terjadilah, masyarakat akan mengusung wakil rakyat yang juga berasal dari kaum kelas bawah (dikenal dengan istilah diktator proletariat) yang nantinya akan menyusun ulang negara sebelum diserahkan kepada pemerintah yang baru dan bersih dari kaum borjuis.

Dalam bahasa yang paling sederhana saya rangkum. Kemungkinan terburuk jika Jokowi ternyata bukanlah pemimpin yang baik, seperti orang jatuh cinta pada umumnya, maka rakyat akan mencari pembenaran atas kesalahan-kesalahannya dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk akhirnya tersadar bahwa kita telah salah memilih. Lain halnya jika Prabowo terpilih menjadi Presiden dan ternyata tidak becus menjalankan semua janjinya, tak akan sulit mentransformasi kekuatan rakyat sebagai senjata untuk menjatuhkannya.

Ketika pembaca mulai bertanya-tanya seberapa kuat landasan opini yang baru saya paparkan di atas, jawabannya sangat sederhana. Lihatlah ke sekeliling kita, lihat orang-orang terdekat kita yang sebelumnya sama sekali tidak peduli terhadap politik. Para pendukung Jokowi, adalah contoh paling konkrit. Orang-orang yang sama sekali tidak paham politik hingga para pemuda dari kaum intelek, yang 5 tahun lalu tak berkomentar soal pemilu, kini berkoar-koar begitu lantang menyuarakan dukungan bagi Jokowi karena begitu tak ingin Prabowo menjadi Presiden.

Apa yang dilakukan orang-orang ini? Mereka mencari tahu, mereka membaca sejarah dan riwayat. Saya yakin, banyak dari orang-orang yang dulu tak pernah dan tak mau tahu kasus penculikan aktivis, kini mulai mengenal siapa Widji Tukul. Ini, adalah sebuah bukti, sebuah pembenaran. Bahwa diakui atau tidak, keberadaan Prabowo di bangku (calon) penguasa, telah menggerakkan tangan masyarakat secara perlahan untuk ikut menyetir negara. Dan ini, adalah awal mula penerapan Demokrasi yang nyata.

[Jakarta, 5 Juni 2014]

Menulis Deskriptif Dalam Fiksi

Saya pernah belajar sedikit-sedikit tentang cara penulisan skenario. Lebih lanjutnya, saya belajar setiap detail cara membuat film. Tapi yang akan saya bagi disini adalah mengenai penulisan skenario, yang cara dan tahapannya bisa pula diterapkan dalam membuat fiksi yang detail dan konsisten. Baik dalam hal deskripsi maupun narasi.

Begini, dalam membuat skenario untuk sebuah film, biasanya ada semacam pembedahan karakter. Itu yang saya pelajari. Kalau mau dikerjakan secara detail, sebenarnya tak cukup satu lembar HVS untuk mendeskripsikan biodata satu karakter. Biodata yang biasa kita isi sehari-hari mungkin hanya berkisar di nama, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, hal-hal yang disukai, dan sebagainya. Tapi dalam membuat sebuah detail karakter, haruslah lebih lengkap. Zodiak, golongan darah, karakter, kebiasaan, suku (yang nantinya menentukan logat berbicara), kemudian latar belakang pendidikan, dan data pelengkap lainnya.

Biodata ini nantinya akan memandu kita menentukan segala dialog dan pengadeganan untuk si karakter. Agar konsisten dan tidak menyimpang dari ide semula. Introvert-kah, atau extrovert-kah si karakter tadi? Orang yang berzodiak Leo tentu berbeda dengan orang yang lahir dibawah naungan Cancer. Orang yang besar di Jawa tentu berbeda perilaku dengan mereka yang hidup di Sumatera. Termasuk gaya berbicara. Hal-hal ini yang akan memperkuat karakter dalam penokohan.

Mengenai konflik, ada panduan tersendiri yang saya terapkan. Hal ini berkaitan erat dengan penokohan tadi. Begini, setelah memahami dan menentukan karakter secara mendetail, akan lebih mudah untuk kita menerka, masalah apa yang biasa timbul di sekitarnya. Misal, orang bertemperamen tinggi, tentu mempunyai kecenderungan lebih besar terlibat konflik yang mengarah ke kontak fisik. Lalu orang yang introvert, akan mempunyai kecenderungan menghadapi konflik di dalam dirinya sendiri. Dari sinilah kita bisa mulai menggambar, seperti apa konflik yang mungkin tercipta dari perilaku si tokoh tadi.

Dalam menulis skenario, kita diharuskan menggunakan bahasa adegan. Contoh :

“Dia menunggu pacarnya datang dengan gelisah.”

Maka kalimat yang benar untuk bahasa pengadeganannya adalah,

“Dia melihat jam di tangan kirinya 2 kali, lalu mengangkat kepala dan menoleh ke arah jalan. Sebentar-sebentar dia duduk, lalu berdiri lagi. Kakinya bergerak-gerak secara konstan. Keningnya berkerut, berkeringat.”

Begitu juga dengan setting. Si penulis skenario sudah harus bisa menggambarkan di dalam kepalanya, seperti apa dan bagaimana kondisi tempat yang menjadi lokasi. Karena si pembuat skenario adalah mata kamera. Sebagai contoh :

“Dia masuk dan menemukan rumah dalam keadaan berantakan.”

Seharusnya dijabarkan menjadi,

“Dia masuk melalui pintu depan dan tersandung TV yang telah jatuh di lantai. Menemukan sofa di ruang tamu dalam keadaan terbalik, meja di ruang tengah sudah pecah. Di lantai keramik terdapat guci yang hancur berkeping.”

Segala detail yang dijabarkan akan membantu kita untuk merasa bahwa cerita tersebut hidup dan nyata. Bila digarisi batas dan dilakukan sesuai dengan anjuran, tak akan terjadi seperti di sinetron-sinteron Indonesia yang kebanyakan tokohnya berekspresi dengan cara berlebih. Seperti marah yang selalu identik dengan melotot dan bibir bergerak-gerak setengah terbuka. Tangan mengepal dan kening berkerut. Tak selalu seperti itu. Sekali lagi, kembali kepada karakter si tokoh.

Bila setting telah ditetapkan sejak semula, tidak akan ada adegan aneh seperti pada salah satu film yang pernah saya tonton. Bagaimana bisa di dalam kamar mandi sang tokoh menemukan pisau dapur dan akhirnya menusuk si lawan main disana. Lanjutkan membaca Menulis Deskriptif Dalam Fiksi

Iqra – Bacalah

Iqra – Banyak orang yang salah menafsirkan ayat pertama dalam Al-Quran ini. Saya tahu, kalimat pertama tadi mungkin baru saja membuat anda mengernyitkan kening. Ini bukan tentang saya yang tiba-tiba mendapat hidayah dan menulis sesuatu yang religius. Postingan ini juga bukan sesuatu yang menginspirasi seperti kalimat-kalimat basi Mario Teguh, saya tidak se-super dia, tentunya. Tulisan ini akan menjadi sebuah tulisan biasa tentang sebuah opini yang sederhana. Tulisan ini masih akan seperti tulisan-tulisan lain yang pernah saya ciptakan, begitu subyektif, dan penuh ke-aku-an.

Kembali pada permasalah Iqra, saya yakin hampir seluruh manusia, terutama yang beragama Islam, mengetahui arti kata Iqra itu sendiri. Bacalah, begitu pengertiannya. Tahu, tapi apakah kita benar-benar mengerti, paham terhadap makna di balik kata “bacalah” itu sendiri?

Perintah itu bukan semata tentang perintah untuk membaca Al-Quran atau kitab-kitab pemandu umat lainnya. Bukan semata-mata tentang tulisan yang dibaca dengan mata, dan dicerna dengan logika. Saya yakin, kata perintah tersebut menyimpan lebih banyak makna.

Saya membaca, tidak hanya apa yang tertulis dalam aksara. Saya membaca pertanda, saya membaca isyarat, saya membaca petunjuk yang disajikan melalui mata. Saya membaca dengan kepala, apa yang didengarkan oleh telinga. Saya membaca, apa arti dari setiap sentuhan yang disalurkan melalui organ perasa seperti kulit dan lidah. Saya membaca aroma-aroma yang disampaikan oleh hidung kepada akal. Saya membaca setiap kesalahan yang kemudian menjadi pembelajaran. Saya membaca pilihan-pilihan yang disajikan. Saya membaca setiap pertanyaan, untuk kemudian saya simpan, hingga saya temukan jawaban di tempat lain. Saya membaca semua yang disajikan semesta.

Saya yakin, saya tidak sendiri. Ada milyaran manusia lainnya yang juga turut membaca. Meski apa yang disajikan semesta dan isinya tidak akan pernah sama dari sudut pandang tiap pasang mata di dunia. Itu sebabnya, pengalaman yang sama akan menghasilkan pembelajaran yang berbeda bagi setiap individu. Karena kita membaca hal yang berbeda.

Saya bisa saja membaca tentang keegoisan seorang manusia dari sikapnya menolong orang lain yang membutuhkan. Saya membaca sebuah tindakan yang dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari perasaan bersalah, karena kemanusiaan menuntutnya untuk menolong. Sementara orang lain mungkin dengan mudah dapat membaca dari sudut yang lebih positif, seseorang yang menolong orang lain, melakukannya karena itulah tindakan yang paling tepat dilakukan bagi yang membutuhkan.

Saya bisa saja membaca bahwa kesalahan yang terjadi di masa lalu adalah batang-batang emas yang sangat berharga, dan dapat berguna sewaktu-waktu. Sementara di mata orang lain, kesalahan tersebut bisa saja hanya sebuah kebodohan yang patut dilupakan.

Saya bisa saja membaca bahwa urutan A akan dilanjutkan dengan kejadian B, yang kemudian diteruskan oleh C, D dan E. Namun dalam sudut pandang mata manusia lainnya, peristiwa linier bisa saja terlihat begitu klise dan memperkirakan bahwa setelah A, tak menutup kemungkinan akan diteruskan oleh C.

Ah, bicara apa saya ini?

Padahal saya hanya ingin bercerita mengenai sebuah pepatah entah dari mana yang samar-samar saya ingat berkata,

“Don’t read the lines, but read what’s between the lines.”

Saya tak percaya apa yang saya lihat dalam sekali sapu pandang saja. Saya terbiasa dengan didikan untuk membaca apa yang tersembunyi. Dalam perumpamaan kasar, saya lebih senang membaca kekurangan dan keburukan saja, karena kebaikan-kebaikan hanya untuk menghibur-hibur diri dengan penampakan yang indah.

Maka jika seseorang menjadi terlalu baik, saya cenderung merasa curiga. Pernah seorang berkata, bila begitu, sulit bagi saya untuk bahagia. Saya rasa dia salah. Karena nyatanya, mereka yang lebih gemar memandang keindahan akan lebih kecewa saat melihat keburukan-keburukan di baliknya. Berbeda dengan saya yang lebih senang melihat kekurangan, saya sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk. Sementara yang baik tersebut, saya anggap sebuah bonus yang bila tiba akan membuat gembira, namun jika tak ada, tak saya harapkan juga.

Saya sudah melakukan itu sejak tahunan yang lalu. Namun saya sempat lupa, bahwa selain membaca, kita pun turut menulis cerita. Apa yang kita tulis, tentunya akan mempengaruhi kisah yang disajikan semesta. Saya menyadari itu beberapa tahun belakangan. Membaca ternyata tak cukup, jika tak disertai dengan tindakan, untuk mendukung kita sampai pada sebuah kesimpulan yang diinginkan. Jadi, bacalah, karena itulah bahan pertimbangan saat menulis nanti.

Oke. Sebelum semakin meracau, saya akan berhenti di sini.

[Jakarta, 11 February 2012.]

Fenomena (Mencela) Boyband

Sebenernya sih gue gak mau terlalu ambil pusing dengan fenomena boyband yang lagi nge-trend. Gue juga bukan orang yang dengan senang hati ikut mengadopsi fenomena mencela boyband, yang bahkan lebih nge-trend saat ini. Tapi kok ya semakin kesini, orang-orang yang mencela boyband-boyband KW-an itu, malah semakin terlihat bodoh di mata gue?

SM*SH adalah contoh paling gampang. Objek celaan khalayak ramai. Tapi toh, gak kalah banyak yang nge-fans abis sama (tampang) mereka. Suara, ngepas banget. Kemampuan nge-dance? Cuma 2 di antara 7 yang bener-bener bisa “nari”. Tampang juga sebenernya biasa aja. Nangkring sejam dua jam di Senayan City deh, pasti nemu lebih banyak cowok-cowok yang jauh lebih “unyu” dari mereka.

Oke, mereka emang punya segudang alasan buat dicela. Lanjutkan membaca Fenomena (Mencela) Boyband

Transjakarta Bukan Solusi

Rabu, 14 September 2011, hari saya dimulai dengan cukup menyebalkan. Iya, menunggu Transjakarta hingga satu jam itu menyebalkan. Bukannya tidak datang, hanya saja setelah setengah jam saya menunggu dan akhirnya bus pertama menampakkan batang spionnya, ternyata di dalam sudah penuh sesak hingga tak bisa mengangkut tambahan penumpang satu orang pun.

Bus yang melintasi halte tempat saya menunggu berikutnya kembali penuh, berturut-turut hingga 4 bus sudah melewati kami, para pengantri tanpa mengangkut penumpang. Lucunya, mereka tetap membuka pintu meski menghalangi kami untuk masuk. Mungkin mereka berharap ada penumpang yang turun. Saya berusaha berpikir positif, bisa jadi beberapa bus sebelumnya sengaja dibiarkan penuh sedari halte busway Ragunan, yang merupakan terminal pemberangkatan untuk jalur Dukuh Atas – Ragunan, dan akan ada satu atau dua bus di belakang yang dikosongkan untuk mengangkut penumpang di halte-halte berikutnya. Tapi ketika empat puluh menit kemudian berlalu dengan hal serupa, saya memutuskan menyerah dan melangkah keluar dari halte buswat Pejaten Philips, tempat saya menunggu sejak sejam lebih yang lalu.

Dekat loket pintu masuk halte, saya sempat bertanya kepada penjaga karcis.

“Kok daritadi penuh terus, gimana kita mau naik, Mas?”

“Ya emang penuh, terus gimana?” Jawab si penjaga acuh tak acuh, malah cenderung ketus.

Saya masih dengan nada manis menahan emosi bertanya lagi, “Kan halte ini hanya 3 atau 4 halte dari Ragunan, kalau di sini aja udah gak kebagian tempat, apalagi di halte-halte berikutnya? Kenapa dibiarin penuh dari terminal awal, gak pada kepikiran hal kayak gini ya?”

Si penjaga diam dan melengos pergi menghampiri penumpang yang baru saja hendak memasuki halte, berpura-pura sibuk merobek karcis tanpa berniat menjawab pertanyaan saya. Saya menarik nafas, dan mengurungkan niat untuk mengeluarkannya kencang-kencang di depan muka si mas mas tadi. Saya lalu pergi. Lanjutkan membaca Transjakarta Bukan Solusi

Perspektif

Beberapa minggu lalu saya sempat berkunjung ke acara Bazaar Art Jakarta yang diadakan di Pasific Place, tepatnya hari dan tanggal berapa saya lupa.

Ada ratusan pameran karya seni rupa di sana. Mulai dari lukisan, foto, patung, film, mix media, dan masih banyak lainnya. Meski semuanya bagus, sejauh ini hanya ada 3 karya seni rupa yang benar-benar tak mau pergi dari kepala saya, kali ini saya akan menulis tentang 2 dari 3 tersebut saja. Bukan berarti karya yang lain saya tak suka, hanya saja, seni tak lebih dari masalah perbedaan sudut pandang dan selera. Seperti yang dikatakan oleh salah satu karya paling menarik perhatian saya ini:

Karya tersebut menampilkan image seorang pria, yang terlihat memiliki karakter berbeda, karena dilihat dari sudut pandang berbeda. Di bagian tengah terdapat tulisan seperti yang ada di gambar paling atas.

“What is art but a way of seeing?

Di samping pigura bergambar foto entahpun lukisan tersebut, terdapat pula karya sejenisnya. Hanya kali ini, filosofi yang disampaikan benar-benar menohok saya, dan sulit sekali dilupakan.

Saat anda melihat dari sebelah kiri, dengan mudah anda akan mengenali gambar yang terpampang di sana sebagai Marilyn Monroe, artis kenamaan dunia yang begitu kontroversial. Sementara di sisi sebelah kanannya, anda akan disajikan gambar presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.

Mungkin beberapa orang akan bertanya, apa hubungannya Soekarno dengan Marilyn Monroe? Tapi saya yakin, lebih banyak yang sudah mengetahui ada hubungan apa di antara mereka berdua.

Sejak sekian tahun yang lalu, bahkan ketika orang nomor satu pertama di Indonesia itu masih hidup, gosip tentang hubungan Soekarno dengan Marilyn Monroe sudah menjadi rahasia yang sangat umum.

Pertemuan dua orang yang begitu terkenal pada masanya ini terjadi di bulan Mei 1956, saat Presiden Soekarno mengadakan kunjungan kenegaraan di Amerika Serikat. Soekarno menyatakan dengan terang-terangan, bahwa dia mengidolakan Marilyn Monroe, serta sangat ingin bertemu dengan perempuan cantik itu. Maka saat pesta penyambutan Presiden Soekarno beserta rombongan diadakan di Beverly Hills Hotel, Marilyn Monroe dibujuk untuk turut hadir di pesta tersebut.

Berikut salah satu foto yang tertangkap pers saat itu.

Meskipun tak pernah ada berita yang menerangkan secara fakta bahwa keduanya berinteraksi lebih lanjut setelah pesta tersebut, namun rumor ini tak pernah benar-benar berhenti dan mati. Rakyat Indonesia terlalu mengetahui presidennya, seorang Don Juan kelas berat. Dan siapa pula yang tak mengenal Marilyn Monroe? Artis Hollywood yang merupakan simbol seks pada abad ke-20.

Di sinilah yang paling menarik menurut saya. Puluhan tahun simpang siur berita tentang kedekatan dua tokoh kelas dunia tersebut, berhasil dimaknai secara singkat namun begitu dalam oleh si pembuat karya.

Menampilkan gambar berbeda pada kedua sisi kiri dan kanan, si pembuat karya meletakkan sebuah kalimat di bagian tengahnya. Kalimat filosofis, yang menurut saya merupakan jawaban atas setiap pertanyaan tentang kehidupan nyata.

no one can really see the totality of reality

***

[Agustus, 2011]

*foto oleh Putri

Merdeka-kan Indonesia

Sebetulnya saya punya hutang menulis tentang seorang kawan. Si kawan ini, sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya -red), mengaku bahwa selama 22 tahun hidup, dia belum pernah benar-benar menginginkan apa pun, kecuali si oknum O, yang akhirnya membuat dia patah hati. Bunga mengaku bahwa dia seorang pengecut. Dia tahu pasti ketika dia menginginkan sesuatu, maka akan datang keserakahan yang membuatnya menginginkan kesempurnaan. Kesempurnaan tadi bisa diartikan dengan rasa kepemilikan. Ya, Bunga sadar bahwa menginginkan sesuatu, bisa membuat seseorang terobsesi untuk memilikinya.

Saat sedang berpikir mengenai hal ini, tiba-tiba saya teringat tentang negara. Negara kita tercinta, tentunya. Semua orang merasa begitu memiliki Indonesia, mereka bilang, bila kita merasa memiliki, maka kita akan mencoba untuk memeliharanya dengan berbagai cara.

Entah kenapa saya tidak setuju dengan paham seperti ini. Menurut saya, rasa memiliki itu adalah sesuatu yang jahat, dan sesat. Memang betul, ada perasaan ingin menjaga dan melindungi apa pun itu yang kita miliki, tapi rasa kepemilikan membuat kita seringkali menjadi buta dan bodoh.

Contoh yang paling sederhana adalah orangtua. Merasa sebagai orang yang paling mengenal kita sejak masih di kandungan, banyak peran yang sebenarnya tak perlu mereka ambil dalam menentukan jalan hidup anak-anaknya yang nyatanya sudah dewasa. Semua itu berasal dari rasa memiliki orangtua terhadap setiap anak yang mereka lahirkan.

Rasa memiliki itu adalah sesuatu yang sangat personal, yang akhirnya membimbing segala sikap si orang tersebut menjadi sangat subjektif. Dalam konteks pembahasan negara tadi, hal ini adalah sesuatu yang buruk. Rasa memiliki justru bisa menghancurkan keberadaan sebuah negara, bisa menjadi penyebab utama kehancuran persatuan. Kenapa? Karena setiap individu merasa dialah yang paling tahu apa yang terbaik bagi negara ini. Hingga pada akhirnya, memandang rendah pendapat orang lain, terlalu sibuk dengan isi kepala masing-masing.

Kalau saja kita mau melihat dari perspektif lain, maka harusnya kita tahu, Belanda bisa menjajah kita selama 350 tahun justru karena mereka merasa memiliki Indonesia. Para kompeni itu dulu selalu berkata bahwa orang-orang Indonesia belum siap merdeka, mau jadi apa kita tanpa pemerintah Belanda? Dan kita dengan keras kepalanya menuntut kemerdekaan, kita yang merasa sebagai pemilik asli tanah air ini.

Ketika akhirnya beberapa daerah di Indonesia menuntut merdeka dari kesatuan ini pun, dilandasi oleh rasa kepemilikan. Lalu jika rasa memiliki ini dibiarkan berkembang semakin liar, setiap individu merasa berhak atas tanah kelahirannya, bukan tidak mungkin pada waktunya nanti kita akan berperang memperjuangkan kemerdekaan atas setiap jengkal tanah yang kita rasa kita miliki.

Soe Hok Gie pernah mencatat,

Kita tidak pernah memiliki apa-apa, kita tidak pernah kehilangan apa-apa.

Hal itu harus dicamkan baik-baik dalam setiap kepala. Bahwa hasil tambang, hasil tanah, serta kekayaan Indonesia lainnya bukanlah milik kita. Indonesia hanya sebuah nama. Sebuah label yang atas satu kesatuan yang ada. Sejatinya semua ini bukan milik kita.  Seharusnya setiap orang berhenti berceramah tentang apa yang terbaik bagi Indonesia, dan dengan bijak memainkan saja perannya masing-masing sebagai bagian dari kesatuan yang besar ini.

Kita terlahir tidak membawa apa-apa, mati pun telanjang hanya berbalut kain kafan. Maka yang benar-benar kita miliki hanya pengalaman, pemikiran, dan pembelajaran yang didapat semasa hidup. Bukan harta, benda, kekasih, keluarga, apalagi sebuah negara.

Sebelum setiap jiwa yang ada di Indonesia akhirnya menjadi cikal bakal para penjajah, ada baiknya kita berhenti dan merenung sejenak. Mengingat-ingat lagi makna kemerdekaan itu sendiri. Jika benar merdeka berarti bebas, maka bebaskan negara ini, tanah ini, dari rasa kepemilikan yang membelenggu yang ada di benak masing-masing kita.

Biarkan Indonesia merdeka dari opini-opini subjektif. Biarkan dia merdeka, dan berjalan saja pada garisnya. Biarkan sistem bekerja, karena apa pun bentuknya, bagaimana pun caranya nanti, Indonesia pasti bisa menemukan jalannya sendiri. Negara ini sudah 66 tahun, dia sudah dewasa.

Merdekalah, Indonesia!

***

Jakarta, 17 Agustus 2011

Pemanjat Kelas Sosial

Social Climber.

Siapa yang tidak pernah mendengar istilah itu saat ini. Kadang kalimat tersebut dilontarkan sebagai cemooh bagi orang-orang dengan latar belakang ekonomi kelas bawah, yang mencoba memperbaiki nasibnya dengan menikahi orang-orang dari golongan atas.

Socialite.

Rasanya semua orang pun sudah mengetahui apa arti kata tersebut. Kaum socialite, kaum kelas atas dengan gaya hidup serba mewah. Siapa yang tidak menginginkan terlahir sebagai mereka? Semua orang ingin menjadi temannya, semua orang ingin masuk dan menjadi bagian dari para sosialita.

***

Istilah cewek matre sering dikaitkan dengan kedua hal yang sudah disebutkan di atas. Perempuan yang menjalin hubungan dengan pria, semata-mata karena mengincar harta dan kekayaan yang dia punya.

Lalu entah bagaimana, pemanjat kelas sosial atau social climber kini menjadi identik dengan orang yang senang memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya menjadi kaum sosialita, lalu mencampakkan orang-orang yang menjadi tangganya, begitu saja.

Oke, oke, sebelum terlalu jauh bermain-main dengan persepsi social climber yang saat ini berkembang di masyarakat, ada baiknya kita lihat kembali sedikit sejarah tentang kaum yang dianggap rendah ini. Lanjutkan membaca Pemanjat Kelas Sosial

Mari Menulis Lagi

Hilman, mari menulis lagi..

Saya rindu Lupus dan permen karetnya. Saya rindu cerita cinta anak SMA tanpa adegan ciuman berlebihan. Saya rindu Poppie si gadis baik-baik sekretaris OSIS. Saya juga merindukan duo Boim dan Gusur yang miskin tapi tetap ceria dan selalu bisa membuat tertawa.

Hilman, tolong menulis lagi..

Sekarang buku-buku hanya bercerita tentang anak SMA yang pergi ke pantai bersama pacarnya. Bermalam berdua meski bukan muhrimnya. Sekarang buku-buku tipis itu hanya bercerita tentang patah hati dan air mata, atau kisah sendu yang mendayu-dayu. Sekarang mereka menjual kemiskinan dalam lembar-lembar kertas, mereka mencari nafkah dengan menuliskan ketidakadilan dalam fiksi-fiksi dengan kadar satir dan sinis yang mengabur dengan sarkasme. Heh, selera humor yang aneh..

Hilman, jangan jadi penulis skenario Cinta Fitri lagi..

Kembali saja pada kertas, dan biarkan pembaca memvisualisasikannya dalam kepala. Kembali pada jambul tumpul dan karakter tokoh utama yang terpuji tapi tetap funky. Kembali pada masa keemasan Olga dan sepatu rodanya. Kembali pada vespa kuning dengan lampu tua yang enggan menyala. Kembali pada kafe tenda dan kreatifnya anak muda ibukota. Kembali pada cerita yang bukan hanya membuat tertawa, tapi membawa pelajaran tanpa terkesan menggurui.

Hilman, ini dari hati, mulailah menulis lagi..

Selamatkan generasi di bawah ini. Sebelum mereka teraniaya cerita selangkangan murahan. Sebelum mereka terkontaminasi humor yang mencela, merendahkan orang lain dijadikan bahan tertawa. Sebelum calon anak-anak Indonesia kehabisan buku dari penulis kenamaan. Sebelum semua orang latah menuliskan curahan hatinya dan diterbitkan, memadati perpustakaan-perpustakaan, hingga akhirnya menjadi sampah. Sebelum kuntilanak dan genderuwo ikut buat buku.

Sebelum terlambat..

Tolong menulis lagi dari hati, bukan karena materi.

Kemudian ajarkan mereka menertawakan diri sendiri.

***

[Purwokerto, 26 Juni 2011]

Emansipasi dan Diskriminasi

Besok, 21 April, adalah hari yang ditetapkan sebagai Hari Kartini. Sebuah penghargaan terhadap salah satu pahlawan nasional, R.A. Kartini, si pejuang emansipasi kaum wanita pada masanya.

Ada kekaguman tersendiri saat mendengar cerita-cerita tentang perempuan kelahiran Jepara yang meninggal di usia 25 ini. Kisah-kisah perjuangannya dalam membela hak perempuan. Opini-opininya yang dicatatkan kedalam buku tahunan kemudian, penuh pemikiran kritis. Tentang hak-hak perempuan sebagai manusia yang terkungkung dalam adat Jawa, atau tentang hukum yang tak adil merata perlakuannya. Pula tentang agama dan dosa, serta penyimpangan yang dilakukan dengan mengatasnamakan Tuhan.

Tak sulit jatuh hati pada sosok R.A. Kartini. Tak ada alasan untuk tidak mengagumi apa yang dia perjuangkan. Hasilnya pun bisa dilihat hingga sekarang. Perempuan saat ini tak lagi berkendala menuntut ilmu setinggi yang mereka mau. Tak ada lagi stigma bahwa perempuan hanya berakhir di dapur, lalu untuk apa mengejar gelar. Meski di beberapa daerah Indonesia nyatanya, pemikiran macam ini belum hilang sepenuhnya. Tapi setidaknya telah banyak kemajuan yang kita nikmati sekarang, buah pemikiran Kartini.

Tapi di masa modern, hingga tahun 2011, nyatanya emansipasi wanita malah menjadi sebuah titik balik memasuki era diskriminasi laki-laki. Tidak percaya? Berikut beberapa bukti perlakuan sederhana yang terjadi di sekitar kita: Lanjutkan membaca Emansipasi dan Diskriminasi